Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Memahami Tujuan Pembangunan Ekonomi Islam dalam Sistem Ekonomi Islam

Ilmu ekonomi pembangunan yang didapat dari pengalaman pembangunan teori barat yang kemudian diterapkan dinegara-negara berkembang jelas tidak sesuai dan merusak masa depan pembangunan itu sendiri, serta tidak memenuhi syarat untuk diterapkan dinegara-negara Islam. 

Karena itu prinsip teori-teori ini harus ditinjau kembali. Pendekatan yang jauh lebih kritis, harus dilakukan untuk mengobati penyakit-penyakit yang sudah ditularkan kepada Negara-negara Islam. 

Pada akhirnya, kita memerlukan suatu konsep pembangunan ekonomi yang tidak hanya mampu merealisasikan sasaran-sasaran yang ingin dicapai dalam suatu pembangunan ekonomi secara tepat, teruji dan bisa diterapkan oleh semua Negara-negara dibelahan bumi ini. 

Tetapi juga yang terpenting adalah kemampuan konsep tersebut meminimalisir atau bahkan menghilangkan segala negative effect pembangunan yang dilakukan. Konsep tersebut juga mampu memperhatikan sisi kemanusiaan tanpa melupakan aspek moral.

Pembangunan ekonomi menurut kebanyakan teoritikus ekonomi Islam bersifat komprehensif, tidak terbatas pada variabel-variabel ekonomi semata, akan tetapi seperti ditegaskan oleh khursyid meliputi aspek moral dan sosial, material dan spiritual. 

Disamping itu kata khursyid pertumbuhan ekonomi tidak lepas dari keadilan distribusi pendapatan dan kekayaan bagi setiap individu pada seluruh generasi, menghapus riba dan mewajibkan zakat. Pendapat lain menambahkan bahwa pertumbuhan ekonomi bertujuan untuk membersihkan dan mensucikan aqidah dan membenarkan iman. 

Dengan demikian, terdapat perbedaan mendasar antara konsep pertumbuhan ekonomi menurut Islam dengan kapitalisme dan sosialisme. Sistem ekonomi Islam menurut pandangan Khursyid berasaskan filasafat yang berhubungan dengan al-Tauhid, al-rububiyah dan al-istikhlaf. Namun menurut Al-Fasi perbedaan tersebut lebih disebabkan oleh sistem kapitalisme yang membolehkan riba dan sistem sosialisme yang tidak terikat dengan agama.

Sebagian penulis seperti Yusuf berpendapat bahwa pemberlakuan al-‘urf untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi tidak relevan dengan masyarakat muslim. Ketidaksesuaian ini kata Abdul Mannan karena adanya persoalan-persoalan yang tidak populer yang tidak dapat dijadikan dasar bagi pembangunan ekonomi bagi masyarakat non muslim. Pertumbuhan ekonomi dalam masyarakat muslim berdasarkan prinsip menggembirakan (at-targib) yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-sunnah.

Tujuan pembangunan ekonomi dalam Islam menurut Yusuf untuk mewujudkan kehidupan yang baik  (al-hayat at-taiyibah) sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an : “waman Ya’mal salihan min zakarin awu unsa falanuhyiyanhu hayatan tayyibah”. 


Tetapi para penulis ekonomi Islam menyimpulkan bahwa setiap ayat yang menyebutkan kata al-kasbu, as-sa’yu, al-infaq, atau al-dharbu fi al-ard (berpetualang di muka bumi) menunjuk pada satu makna yaitu aktifitas perekonomian. 

Dan inilah yang menjadi dasar hukum membangun ekonomi. Pendapat ini muncul karena didorong oleh keinginan kuat kebanyakan penulis untuk menegaskan bahwa Islam mendahulukan segala sesuatu yang mengandung kabaikan bagi manusia dan menghindari hal yang dapat merugikan mereka.