Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Memahami Akad Musyarakah Dalam Sistem Ekonomi Islam

Istilah lain dari musyarakah adalah syarikah atau syirkah. Menurut bahasa arab, syirkah berasal dari kata syarika (fi’il madhi), yasyruku (fi’il mudhari’), syarikan/syirkatan/syarikatan (masdar/kata dasar); yang artinya menjadi sekutu atau syarikat (kamus al-munawar) menurut arti asli bahasa arab, syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sehingga tidak boleh dibedakan lagi satu bagian dengan bagian lainnya.

Sedangkan pengertian secara terminologi menurut beberapa tokoh adalah
Menurut Ulama Malikiyah, syirkah adalah suatu keizinan untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta mereka.

Menurut Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah syirkah adalah hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati.

 Menurut Ulama Hanafiyah syirkah adalah akad yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerjasama dalam modal dan keuntungan.

 Menurut Sayyid Sabiq syirkah adalah akad antara dua orang dalam (penanaman) modal dan (pembagian) keuntungan.

Menurut Taqiyuddin Abi Bakr Muhammad al-Husaini syirkah adalah ungkapan tentang penetapan suatu hak pada sesuatu yang satu untuk dua orang atau lebih menurut cara yang telah diketahui
 Menurut Wahbah Az-Zuhaili syirkah adalah kesepakatan dalam pembagian hak dan usaha.
Menurut kompilasi hukum ekonomi syariah, yang dinamakan syirkah yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih dalam hal permodalan, keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang bersyarikat.[2]

Jadi Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/expertise) dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan sedangkan kerugian berdasarkan porsi kontribusi dana berupa kas maupun aset non-kas yang diperkenankan oleh Syariah.

Rukun  Akad Musyarakah Dalam Sistem Ekonomi Islam
Rukun merupakan sesuatu yang wajib dilakukan dalam suatu transaksi (necessary condition), begitu pula pada transaksi yang terjadi pada kerja sama bagi hasil al-Musyarakah. Pada umumnya, rukun dalam muamalah iqtishadiyah (muamalah dalam bidang ekonomi) ada tiga yaitu :
  • Shigat (lafal) ijab dan qabul
  • Pelaku akad, yaitu para mitra usaha
  • Obyek akad, yaitu modal (mal), kerja (dharabah), dan keuntungan (ribh).
Dalam akad kerja sama musyarakah, pernyataan ijab qabul harus menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak. Pihak-pihak yang melakukan akad juga harus cakap hukum seperti berkompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan. Selain itu juga setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan. Selain itu juga setiap mitra kerja boleh mewakilkan kerjanya kepada mitra yang lain dengan perjanjian yang disepakati bersama.

Syarat Akad Musyarakah Dalam Sistem Ekonomi Islam
  • Harus mengenai tasharuf yang dapat diwakilkan
  • Pembagian keuntungan yang jelas
  • Pembagian keuntungan tergantung kepada kesepakatan, bukan kepada besar kecilnya modal atau kewajiban.
Pembagian Akad Musyarakah Dalam Sistem Ekonomi Islam

Musyarakah terbagi menjadi dua garis besar yaitu Musyarakah permanen dan Musyarakah menurun (Musyarakah Muttanaqisah). Musyarakah permanen adalah Musyarakah dengan ketentuan bagian dana setiap mitra ditentukan sesuai akad dan jumlahnya tetap hingga akhir masa akad.

Musyarakah menurun (Musyarakah Muttanaqisah) adalah Musyarakah dengan ketentuan bagian dana pihak pertama akan dialihkan secara bertahap kepada pihak kedua sehingga bagian dana pihak pertama akan menurun dan pada akhir masa akad pihak kedua tersebut akan menjadi pemilik penuh usaha tersebut.

Sedangkan menurut Muhammad Syafi’I Antonio Musyarakah ada dua jenis, yaitu Musyarakah Pemilikan dan Musyarakah Akad. Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang berakibat pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam Musyarakah ini kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata, dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut. Sedangkan Musyarakah Akad tercipta dengan cara kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan Modal Musyarakah, dan merekapun sepakat berbagi keuntungan dan kerugian.

Sedangkan menurut Rahmat Syafe’I Musyarakah atau Syirkah terbagi menjadi dua macam yakni Syirkah Amlak dan Syirkah Uqud. Syirkah Amlak adalah Syirkah yang bersifat memaksa dalam hukum positif, sedang Syirkah Uqud adalah Syirkah yang bersifat ikhtiariyah. Adapun penjelasan lebih lanjut mengenai Syirkah Amlak dan Syirkah Uqud sebagai berikut:

1. Syirkah Amlak
Ialah syirkah antara dua orang atau lebih yang memiliki barang tanpa memiliki akad. Syirkah ini terbagi menjadi dua macam yakni:

a.  Syirkah Ikhtiyari (sukarela)
Syirkah Iktiyari adalah syirkah yang  disebabkan adanya kontrak dari dua orang yang bersekutu.

b. Syirkah Ijbari (paksaan)
Syirkah ijbari adalah syirkah yang ditetapkan kepada dua orang atau lebih yang bukan didasarkan atas perbuatannya.

Hukum kedua jenis syirkah ini adalah salah seorang yang bersekutu seolah-olah sebagai orang lain dihadapan yang bersekutu lainnya. Oleh karena itu, salah seorang diantara mereka tidak boleh mengolah harta syirkah tersebut tanpa izin dari rekan syirkahnya, karena keduanya tidak mempunyai wewenang untuk menentukan bagian masing-masing.

2.  Syirkah Uqud
Syirkah Uqud ini merupakan bentuk transaksi yang terjadi antara dua orang atau lebih untuk bersekutu dalam harta dan keuntungannya.

Menurut ulama Hanabilah, syirkah ini terbagi menjadi lima yakni: syirkah inan, syirkah mufawidhah, syirkah abdan, syirkah wujuh, syirkah mudharabah. Sedangkan ulama Hanafiyah membaginya menjadi enam macam, yakni: syirkah amwal, syirkah a’mal, syirkah wujuh. Masing-masing dari ketiga bentuk ini terbagi menjadi mufawidah dan ‘inan. Secara umum ulama Syafi’I dan Maliki dari mesir berpendapat bahwa syirkah terbagi menjadi empat macam yakni: Syirkah inan, Syirkah mufawidhah, Syirkah abdan, dan Syirkah wujuh.

Pembagian dari macam-macam Musyarakah ini baik dari bukunya Syafe’I Antonio dan Rahmat Syafe’I serta bukunya Nurhayati memiliki pendapat yang berbeda tentang pembagian Musyarakah, tetapi pada dasarnya pembagian tersebut adalah pembagian terhadap apa yang terjadi pada kegiatan Musyarakah yang dapat kita klarifikasikan berdasarkan maksud dan tujuan dari defenisi masing-masing pembagian. Tetapi secara umum jenis-jenis dari akad Musyarakah terangkum dalam lima jenis Musyarakah, Yaitu Syirkah inan, Syirkah mufawidhah, Syirkah abdan, dan Syirkah wujuh, dan Syirkah Mudharabah.

Ulama fiqih bersepakat perihal kebolehannya Syirkah Inan, sedangkan syirkah yang lainnya masih diperselisihkan kebolehannya. Adapun pengertian dari masing-masing Syirkah adalah sebagai berikut:

a. Syirkah Inan

Syirkah Inan ialah persekutuan antara dua orang dalam harta milik untuk berdagang bersama-sama dan membagi laba atau kerugian bersama-sama. Defenisi lain terhadap Syirkah Inan yaitu kontrak antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati diantara mereka, namun porsi masing-masing pihak, baik dalam dana maupun kerja atau bagi hasil, berbeda sesuai dengan kesepakatan mereka.

Para fuqoha bersepakat tentang bolehnya Syirkah Inan. Syirkah Inan ini banyak dilakukan karena tidak disyaratkan adanya kesamaan modal dan pengelolaan, juga dalam pembagian hasil dibolehkan berbeda tergantung pada kesepakatan yang telah dibuat secara bersama.

b. Syirkah Mufawidhah

Secara bahasa Mufawidah artinya persamaan. Dinamakan Mufawidah karena harus ada kesamaan dalam modal, keuntungan, serta bentuk kerjasama lainnya. Sedangkan menurut istilah mufawwidah adalah kesepakatan dua orang atau lebih untuk melakukan perserikatan dengan persyaratan memiliki kesamaan dalam jumlah modal, keuntungan, pengelolaan serta agama yang dianut. Dengan demikian, setiap pihak akan menjamin pihak lainnya, baik dalam penjualan ataupun pembelian. Pihak-pihak yang berserikat tersebut saling mengisi dalam hak dan kewajibannya, yakni masing-masing menjadi wakil yang lain atau menjadi pihak yang diwakili oleh pihak lainnya.

Defenisi lain dari Syirkah Mufawidhah adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih, setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama. Dengan demikian, syarat utama dari jenis musyarakah ini adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggungjawab, dan beban hutang dibagi oleh masing-masing pihak.

c. Syirkah Abdan/ Syirkah A’mal

Syirkah abdan yaitu pesekutuan dua orang untuk menerima pekerjaan yang akan dikerjakan secara bersama-sama. Dan keuntungan dibagi diantara keduanya dengan syarat-syarat tertentu sesuai dengan kesepakatan. Ulama Malikiyah memberikan syarat untuk syirkah ini yakni, 1) usaha yang dilakukan harus sama, 2) usaha boleh berbeda bila masih ada keterkaitannya satu dengan yang lainnya, 3) keduanya harus berada di tempat yang sama, 4) pembagian keuntungan didasarkan pada kadar pekerjaan yang dilakukan.

Defenisi lain dari Syirkah Amal adalah kontrak kerjasama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya, kerjasama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sebuah kantor.

d. Syirkah Wujuh

Syirkah wujuh adalah persekutuan dua pemimpin dalam pandangan masyarakat tanpa modal, untuk membeli barang tidak secara tunai dan menjualnya secara tunai, kemudian keuntungannya dibagi diantara keduanya dengan syarat tertentu sesuai dengan kesepakatan. Penamaan wujuh karena tidak akan terjadi jual beli secara tidak kontan jika keduanya tidak dianggap pemimpin dalam pandangan manusia secara adat. Dalam hal pembagian keuntungan, hendaklah dihitung berdasarkan perkiraan dalam hal kepemilikan, tidak boleh lebih dari itu sebab persekutuan ini didasarkan pada tanggung jawab pada barang dagangan yang mereka beli, baik dengan harta maupun dengan pekerjaan. Dengan demikian, keuntungan harus didasarkan atas tanggung jawab dan tidak boleh melebihi kadar tanggungan masing-masing.

Syirkah wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan, dan menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi dalam keuntungan.

e. Syirkah Mudharabah.

Syirkah Mudharabah adalah akad kerjasama antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh(100 %) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Dan keuntungan dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama bukan akibat kelalaian si pengelola, tetapi seandainya kerugian diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian sipengelola, maka sipengelola harus bertanggungjawab atas kerugian.

Berdasarkan pembagian macam-macam musyarakah diatas dapat diklarifikasikan penentuan perbedaan bentuk-bentuk musyarakahnya dalam beberapa faktor yaitu:
  1. Ketentuan bagian dana terhadap penentuan kepemilikan
  2. Sumber modal awal kepemilikan
  3. Kekuatan hukum akadnya terhadap siapa yang berhak mengelola
  4. Harta dan pembagian keuntungannya
  5. Ketentuan porsi modal
  6. Ketentuan jumlah penanggungan kerugian
  7. Bentuk kerjasamanya
  8. Kadar kerja dan tanggungjawabnya.

Berdasarkan pemaparan diatas dapat kita simpulkan bahwa dalam syirkah mufawadhah, para pihak yang berserikat mencampurkan modal dalam jumlah yang sama, yakni Rp X dicampur dengan Rp X juga. Sedangkan syirkah ‘Inan, para pihak yang berserikat mencampurkan modal dalam jumlah yang tidak sama, misalnya yakni Rp X dicampur dengan Rp Y. dalam syirkah Wujuh terjadi percampuran antara modal dengan reputasi/nama baik seseorang. Sedangkan syirkah ‘Abdan, dimana terjadi percampuran jasa-jasa antara orang yang berserikat.

Misalnya ketika konsultan perbankan syari’ah bergabung dengan konsultan information technology untuk mengerjakan proyek sistem informasi Bank Syari’ah Z. dalam syirkah bentuk ini, tidak terjadi percampuran modal (dalam arti uang), tetapi yang terjadi adalah percampuran keahlian/keterampilan dari pihak-pihak yang berserikat. Bentuk syirkah yang terakhir adalah syirkah Mudharabah, dalam syirkah ini terjadi percampuran antara modal dengan jasa (keahlian/keterampilan) dari pihak-pihak yang berserikat.
         
Dalam semua bentuk syirkah tersebut, berlaku ketentuan sebagai berikut: bila bisnis untung maka pembagian keuntungannya didasarkan menurut nisbah bagi hasil yang telah disepakati oleh pihak-pihak yang bercampur. Bila bisnis rugi, maka pembagian kerugiannya didasarkan menurut porsi modal masing-masing pihak yang bercampur.

Perbedaan penetapan ini dikarenakan adanya perbedaan kemampuan menyerap (absorpsi) untung dan rugi. Untung sebesar apapun dapat diserap oleh pihak mana saja. Sedangkan bila rugi, tidak semua pihak memiliki kemampuan menyerap kerugian yang sama. Dengan demikian, bila terjadi kerugian, maka besar kerugian yang ditanggung disesuaikan dengan besarnya modal yang diinvestasikan kedalam bisnis tersebut.

Dengan demikian, dalam syirkah Mufawadhah karena porsi modal pihak-pihak yang berserikat besarnya sama, besarnya jumlah keuntungan maupun kerugian yang diterima bagi masing-masing pihak jumlahnya sama pula. Dalam syirkah ‘Inan, karena jumlah porsi modal yang dicampurkan oleh masing-masing pihak berbeda jumlahnya. Maka jumlah keuntungan yang diterima berdasarkan kesepakatan nisbah. Sedangkan bila rugi, maka masing-masing pihak akan menanggung kerugian sebesar proporsi modal yang ditanamkan dalam syirkah tersebut.

Dalam syirkah wujuh, bila terjadi laba, keuntunganpun dibagi berdasarkan kesepakatan nisbah antara masing-masing pihak. Sedangkan bila rugi, hanya pemilik modal saja yang akan menanggung kerugian finansial yang terjadi. Pihak yang menyumbangkan reputasi/nama baik, tidak perlu menanggung kerugian finansial, karena ia tidak menyumbangkan modal finansial apapun.

Namun demikian, pada dasarnya ia tetap menanggung kerugian pula, yakni jatuhnya reputasi/nama baiknya.

Dalam syirkah ‘Abdan, demikian pula halnya. Bila mendapatkan laba, laba itu akan dibagi menurut nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang berserikat. Sedangkan bila terjadi kerugian, maka kedua belah pihak akan sama-sama menanggungnya, yakni dalam bentuk hilangnya segala jasa yang telah mereka kontribusikan.

Dalam syirkah Mudharabah, bila terjadi keuntungan laba tersebut dibagi menurut nisbah bagi hasil yang disepakati oleh kedua belah pihak. Sedangkan bila rugi, penyandang modal (shahib al-mal) yang akan menanggung kerugian finansialnya. Pihak yang mengkontribusikan jasanya (mudharib) tidak menanggung kerugian finansial apapun, bentuk kerugian yang ditanggung oleh mudharib berupa hilangnya waktu dan usaha yang selama ini sudah ia kerahkan tanpa mendapatkan imbalan apapun.

Selain musyarakah, terdapat juga kontrak investasi untuk bidang pertanian yang pada prinsipnya sama dengan prinsip syirkah. Bentuk kontrak bagi hasil yang diterapkan pada tanaman pertanian setahun dinamakan muzara’ah. Bila bibitnya berasal dari pemilik tanah, disebut mukhabarah. Sedangkan bentuk kontrak bagi hasil yang diterapkan pada tanaman pertanian tahunan disebut musaqat.

Ada beberapa hukum dan persyaratan yang harus diperhatikan dalam pembuatan akad Musyarakah yaitu:

  1.  Seorang mitra memiliki hak untuk mengatur asset musyarakah dalam proses bisnis normal. Musyarakah dengan pemberian modal (seperti dalam ‘Inan) menciptakan sebuah kesatuan dana lalu, setiap mitra memberi wewenang mitra lainnya untuk mengatur asset. Seorang mitra dinilai berhak atas wewenang itu bila ia menggunakannya secara baik dengan memelihara kepentingan mitra lainnya, tanpa membuat kesalahan yang disengaja atau lalai. Seseorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana itu untuk kepentingannya sendiri.
  2. Seorang mitra tidak bisa menjamin modal mitra lainnya, karena Musyarakah didasarkan prinsip al-ghurmu bil ghurnmi - hak untuk mendapatkan keuntungan berhubungan dengan risiko yang diterima. Tetapi seorang mitra dapat meminta mitra yang lain menyediakan jaminan atas kelalaian atau kesalahan yang disengaja.
  3. Setiap mitra melaksanakan kerja dalam Musyarakah atas nama pribadi dan wakil mitranya. Ini diatur oleh hukum dasar dari kontrak perwakilan dalam fiqh Islam. Beberapa dari hukum ini berhubungan dengan pimpinan. Sebagian berhubungan dengan wakil dan sebagian lainnya berhubungan dengan hal-hal yang menjadi objek perwakilan. Semua ini harus dijelaskan dalam kontrak Musyarakah.
  4.  Pengaturan ini menyangkut penentuan wilayah kerja bagi setiap mitra. Pekerjaan ini termasuk urusan manajemen bisnis seperti perencanaan, pembuatan kebijakan, pengembangan program eksekutif, tindak lanjut, supervisi, penilaian kinerja, dan pembuatan keputusan. Kontrak Musyarakah seharusnya memuat pengaturan kerja bagi setiap mitra, termasuk masalah lalai atau kesalahan yang disengaja. Seorang mitra yang melaksanakan pekerjaan di luar wilayah tugas yang ia sepakati, berhak mempekerjakan orang lain untuk menangani pekerjaan tersebut. Jika ia sendiri yang melakukan pekerjaan itu, ia berhak menerima upah yang sama dengan yang dibayar untuk pekerjaan itu ditempat lain. Tetapi beberapa ulama membolehkan seorang mitra mewakilkan kewenangan penuh kepada yang lain untuk melaksanakan bisnis Musyarakah tersebut jika pilihan itu dianggap yang terbaik bagi pelaksanaan Musyarakah.
  5. Seorang mitra dapat menunjuk pekerja untuk melaksanakan tugas yang menjadi bagiannya, ongkos yang timbul harus ditanggungnya sendiri. Penunjukan pekerja sepenuhnya tergantung pada keperluan, dan mereka harus menerima upah karenanya.
  6. Mitra tidak boleh meminjam uang atas nama Musyarakah, demikian juga meminjamkan uang kepada pihak ketiga dari modal Musyarakah, menyumbang, atau menghadiahkan uang tersebut. Kecuali, jika hal itu telah disepakati dengan mitra lainnya.   
  7. Keuntungan harus dikuantifikasi atau dinilai jumlahnya. Hal tersebut untuk mempertegas dasar berkontrak Musyarakah agar tidak mengarah pada perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian Musyarakah. Jika para mitra mengatakan bahwa “ keuntungan akan dibagi diantara kita”. Maka dalam hal ini keuntungan akan dialokasikan menurut saham masing-masing dalam modal. Setiap keuntungan mitra harus merupakan bagian proporsional dari seluruh keuntungan Musyarakah. Seorang mitra tidak dibenarkan untuk menentukan bagian keuntungannya sendiri pada awal kontrak, karena hal itu melemahkan dasar Musyarakah dan melanggar prinsip keadilan. Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau persentase itu diberikan kepadanya. Contohnya bila seorang dari mereka (mitra) mengatakan bahwa “saya akan mendapat sepuluh jika kita mendapatkan lebih dari itu”, dan mitra lainnya menyepakati, maka kontrak tersebut sah. Syarat-syarat tersebutpun bersifat mengikat.
  8. Pandangan Mazhab Maliki dan Mazhab syafi’I keuntungan harus dibagi diantara para mitra secara proporsional sesuai modal yang disetorkan, tanpa memandang apakah jumlah pekerjaan yang dilaksanakan oleh para mitra sama ataupun tidak sama. Menurut mereka keuntungan adalah hasial modal. Karenanya, pembagian keuntungan itu harus proporsional.
  9. Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali menyetujui pembagian keuntungan yang tidak proporsional terhadap modal apabila bila para mitra membuat syarat-syarat tertentu dalam kontrak. Argumentasi mereka didasarkan pada pandangan bahwa keuntungan adalah bukan hanya hasil modal, melainkan hasil interaksi antara modal dan kerja. Bila salah satu mitra lebih berpengalaman, ahli, dan teliti dari lainnya, dibolehkan baginya  untuk mensyaratkan bagi dirinya sendiri suatu bagian tambahan dari keuntungan sebagai ganti dari sumbangan kerja yang lebih banyak. Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali mendukung argumentasi ini dengan merujuk perkataan Ali Bin Abi Thalib r.a “ keuntungan harus sesuai dengan yang mereka tentukan, sedangkan kerugian harus proporsional dengan modal mereka”. Pendapat ini membantu dalam mempertimbangkan peran pengalaman, keahlian, jaringan, dan efisiensi dalam mencapai keuntungan. Berdasarkan pendapat kedua, keuntungan bersih yang diakui dapat menjadi dua bagian. Pertama, keuntungan dibagi sesuai usaha masing-masing mitra dalam melakukan pekerjaannya. Kedua, keuntungan dialokasikan menurut bagian saham setiap mitra dalam total modal. Sebagian ulama juga membolehkan pengalokasian bagian keuntungan yang sama kepada pihak ketiga. Misalnya, untuk fakir miskin atau organisasi kemanusiaan. Hal demikian harus disepakati oleh seluruh mitra. Demikian juga mengalokasikan sebagian keuntungan sebagai cadangan untuk mendukung kondisi masa depan dari Musyarakah itu.
  10. Para ulama sepakat bahawa kerugian harus dibagi diantara para mitra secara proporsional terhadap saham masing-masing dalam modal. Mereka mendukung pendapat ini dengan perkataan Ali bin Abi Thalib r.a: “keuntungan harus sesuai dengan yang mereka tentukan, sedangkan kerugian harus proporsional dengan modal mereka”. Dalam hal Musyarakah berkelanjutan dibolehkan untuk menunda alokasi kerugian supaya bisa dikompensasikan dengan keuntungan pada masa-masa berikutnya.

Jadi, Pembagian hasil usaha berupa keuntungan tetap berdasarkan ketentuan kesepakatan Nisbah, dan kerugian dilakukan berdasarkan presentasi modal yang disertakan dalam syirkah.
Syirkah akan berakhir apabila terjadi hal-hal berikut ini:
  1. Salah satu pihak membatalkan kesepakatannya meskipun tanpa persetujuan dari pihak yang lainnya.
  2. Salah satu pihak kehilangan kemampuan dalam bertasharruf (keahlian mengelola harta)
  3. Salah satu pihak meninggal dunia, namun bila yang bersyirkah lebih dari dua orang, maka yang berakhir hanya yang meninggal saja.
  4. Salah satu pihak berada dalam pengampuan.
  5. Salah satu pihak mengalami kebangrutan yang mengakibatkan tidak lagi menguasai harta yang menjadi saham syirkah.
  6. Modal para pihak yang bersyirkah hilang sebelum terjadi percampuran harta hingga tidak dapat dipisah-pisahkan lagi.