Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Memahami Kebijakan Fiskal dalam Sistem Ekonomi Islam

Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah. Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan moneter, yang bertujuan men-stabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang yang beredar. 

Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pajak. Dari sisi pajak jelas jika menubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.

Kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah merupakan kebijakan didalam bidang perpajakan (penerimaan) dan pengeluarannya, Kedua kebijakan ini merupakan wahana utama bagi peran aktif pemerintah dibidang ekonomi. Pada dasarnya sebagian besar upaya stabilisasi makro ekonomi berfokus pada pengendalian atau pemotongan anggaran belanja pemerintah dalam rangka mencapai keseimbangan neraca anggaran. 

Oleh karena itu, setiap upaya mobilisasi sumber daya untuk membiayai pembangunan publik yang penting hendaknya tidak hanya difokuskan pada sisi pengeluaran saja, tetapi juga pada sisi penerimaan pemerintah. Pinjaman dalam dan luar negeri dapat digunakan untuk menutupi kesenjangan tabungan. 

Dalam jangka panjang, salah satu potensi pendapatan yang tersedia bagi pemerintahan untuk membiayai segala usaha pembangunan adalah penggalakan pajak. Selain itu, sebagai akibat ketiadaan pasar-pasar uang domestik yang terorganisir dan terkontrol dengan baik, sebagian besar pemerintahan Negara-Negara Dunia Ketiga memang harus mengandalkan langkah-langkah fiskal dalam rangka mengupayakan stabilisasi perekonomian nasional dan memobilisasikan sumber-sumber daya (keuangan) domestik.

Dari berbagai sistem ekonomi yang ada, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, sistem ekonomi Islam dianggap sebagai smart solution dari berbagai sistem ekonomi yang ada karena secara etimologi maupun secara empiris, terbukti sistem ekonomi Islam menjadi sistem ekonomi yang mampu memberikan kemakmuran dan kesejahteraan yang nyata dalam penerapannya pada saat zaman Rasullah Muhammad SAW dan pada masa Khalifah Islamiyah karena sistem ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang berdasarkan pada nilai keadilan dan kejujuran yang merupakan refleksi dari hubungan vertikal antara manusia dengan Allah SWT.

Kebijakan fiskal Islam dibahas terutama dalam kerangka keadilan distributif Islam. Yang pastinya, keadilan distributif bukan satu-satunya tujuan bahwa dengan kebijakan fiskal mampu mencapai keadilan tersebut. Dan kebijakan fiskal bukan satu-satunya cara memastikan keadilan distributif dalam masyarakat Islam. 

Pembahasan tentang kebijakan fiskal biasanya dimasukkan dalam kategori ilmu ekonomi makro. Munculnya pemikiran tentang kebijakan fiskal dilatar belakangi oleh adanya kesadaran terhadap pengaruh pengeluaran dan penerimaan pemeriuntah. Pengeluaran dan penerimaan pemerintah berpengaruh terhadap pendapatan nasional. 

Untuk itu, dibutuhkan suatu kebijakan yang disebut sebagai kebijakan fiskal untuk menyesuaikan pengeluaran dengan penerimaan negara. Penyesuaian antara pengeluaran dan penerimaan mengakibatkan ekonomi stabil yang terlihat dari laju pertumbuhan ekonomi yang layak tanpa adanya pengangguran dan kestabilan harga-harga umum.

Dalam teori ekonomi klasik, kebijakan fiskal biasanya didasarkan pada kemampuan pemerintah dalam menarik pajak dan memicu tarif pada subsidi asing. Kebijakan fiskal dikenal dengan kebijakan keuangan publik, yaitu suatu kebijakan yang berkenaan dengan pemeliharaan, pembayaran dari sumber-sumber yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan publik dan pemerintahan. Sehingga kebijakan fiskal dipandang sebagai instrument manajemen permintaan yang berusaha mempengaruhi tingkat aktivitas ekonomi melalui pengendalian pengeluaran dan pengaturan pajak.

Kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam akan dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang sama sebagaimana dalam ekonomi non-Islam. Dimana tujuan ekonomi adalah untuk menciptakan stabilitas ekonomi, tingkat pertumbuhan, ekonomi yang tinggi dan pemerataan pendapatan, ditambah dengan tujuan lain yang terkandung dalam aturan (doktrin Islam) atau dengan kata lain tujuan tersebut harus dicapai dengan melaksanakan hukum Islam.

Itu artinya kebijakan fiskal adalah kebijakan ekonomi untuk mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Dengan mengatur pendapatan dan belanja pemerintahan.

Konsep Fiskal dalam Ekonomi Islam.
Konsep kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam tidak terlepas dari tujuan dan fungsi dalam sistem keuangan fiskal. Dalam ekonomi Islam tujuan dan fungsi sistem keuangan fiskal adalah meliputi;

a. Mencapai kelayakan/kesejahteraan yang menyeluruh dengan terwujudnya tingkat kesempatan kerja (full-employment).

Keadaan ini sangat memungkinkan terjadi apabila investasi tidak hanya digunakan untuk menutupi kesenjangan antara pendapatan nasional dengan pengeluaran konsumsi agregat. Dengan kata lain harapan yang tinggi terhadap tingkat keuntungan dapat dicukupi dengan mengajak para pengusaha untuk ikut membuka investasi baru yang menyerap banyak tenaga, lewat pemanfaatan dari harta yang Idle dan memungkinkan untuk berkembang. Hal ini bisa dilakukan dengan cara kebijaksanaan pemerintah untuk menarik beban atas harta yang menganggur, sehingga akan mendorong masyarakat untuk menginvestasikan dananya lewat tabungan maupun deposito dengan tujuan investasi. Atau investasi langsung dengan tanpa menggunakan tingkat bunga tetapi bagi hasil. Sebab semua ini akan memberi pengaruh atas:
  • Merangsang para pengusaha (entrepreneur) swasta, sebab tidak akan terbebani oleh beban bunga yang tinggi, tetapi berkeadilan dimana keuntungan dan kerugian akan ditanggung bersama atau sesuai dengan kesepakatan.
  • Porsi yang signifikan dari kenaikan pendapatan yang diperoleh, maka beban atas harta idle akan terlewati, dan lebih jauh lagi dengan penambahan dari akibat investasi tersebut akan meningkatkan kecendrungan marginal untuk konsumsi msyarakat, yang selanjutnya akan merangsang investasi lebih lanjut.  
b.   Menekan laju inflasi

Dalam ekonomi pasar bebas, permintaan akan barang yang meningkat karena tingginya hasrat konsumsi masyarakat sehingga menimbulkan harga-harga yang relatif tinggi dan menaikkan tingkat inflasi, merupakan akibat dari ketidakseimbangan pasar tenaga kerja dan , pasar barang. Karena bagiamanapun juga Islam melarang pemborosan dan berlebih-lebihan dalam konsumsi, serta segala bentuk penimbunan untuk mencari keuntungan dan juga transaksi yang bersifat penindasan salah satu pihak. 

Hal ini bukan berarti bahwa Islam tidak mengakui transaksi perdagangan, namun lebih mengedepankan pencapaian nilai keadilan antara pekerja dan pengusaha untuk menghindari eksploitasi sosial. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran merupakan dua sisi mata uang yang saling mengikuti, artinya disatu sisi jika kita bermaksud menekan laju inflasi maka disisi yang lain akan menaikkan angka pengangguran, demikian juga sebaliknya.

Jadi dapat kita asumsikan bahwa keadaan ekonomi kita adalah full employment, untuk itu pemerintah memutuskan untuk menaikkan pengeluaran dan keperluan keuangan lain dengan cara menaikkan tingkat sanksi (kewajiban atas) pendapatan individu yang dapat menyesuaikan kenaikan pengeluaran tersebut. Selama diawali dari keadaan full employment, kenaikan dalam permintaan agregat tidak akan menimbulkan kenaikan pada pendapatan Riil nasional, tetapi harus dimanifestasikan sebagai kenaikan atas pendapatan uang. 

Dengan kata lain pada tingkat output yang sama sekarang tidak akan dinaikkan sebagai kenaikan harga yang tinggi. Langkah yang bisa diambil dalam hal ini adalah memaksimalkan fungsi penerimaan zakat dan jenis amal sukarela yang lain ke dalam Baitul Mal. Penerimaan tersebut dapat digunakan untuk berbagai macam kegunaan dalam rangka menjamin stabilitas ekonomi selama masa inflasi berlangsung, dimana pemerintah Muslim dapat membiayai lebih kecil dari hasil penerimaan pada masa Full Employment.

c.    Mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Dalam ekonomi Islam percepatan pertumbuhan ekonomi dapat dijadikan tujuan dasar dari kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal harus menjadi tujuan pencapaian mobilitas maksimum dari fungsi tabungan. Kebijakan menaikkan pengeluaran pemerintah juga dapat diperlukan untuk membangun infrastruktur yang diperlukan dan untuk menginvestasikan pada proyek-proyek yang menarik bagi sector swasta.
Dalam pengaturan hasil usaha (keuntungan) dari proyek pemerintah dapat dijalankan dengan menggunakan sistem mitra usaha, dimana pemegang saham akan saling membagi keuntungan dan kerugian bersama sebatas proporsi modalnya sesuai kesepakatan diawal kontrak. Dengan demikian segala bentuk transaksi (proyek usaha) baik itu sector rumah tangga, swasta maupun pemerintah semua dapat menjalankan prinsip bagi hasil tanpa menggunakan instrument bunga.

Sehingga dalam ekonomi Islam, jumlah dari hutang akan dapat dilunasi dan dapat diminimalisir dan bebas dari unsur bunga. Dengan alasan;
  • Pemerintah tidak akan mengalami kesulitan dalam memberikan hutang, karena bunga sama dengan nol
  • Hutang bagaimanapun tetap harus dibayar, meski dapat ditangguhkan selama tenggang waktu yang diundurkan dengan tanpa biaya dari pemerintah
  • Karena jumlah hutang yang relative kecil, maka pemerintah tidak harus menjalankan surplus anggaran yang substansial pada berbagai tingkat frekuensi yang relatif berubah atas pelayanan hutang tersebut.
Saran lain dari ekonomi Islam akan ditujukan untuk keseimbangan Anggaran Belanja Negara (APBN). Arah terbaik dari tindakan pemerintah tersebut dapat dihubungkan antara pengeluaran pemerintah ditambah zakat atas sejumlah pajak (pungutan lain).

2. Instrumen-Instrumen Fiskal Islam dalam Sistem Ekonomi Islam

Setiap tahun pemerintah membuat suatu Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk kemudian disahkan menjadi Undang-Undang APBN. RAPBN itu berisikan berbagai rencana kebijakan yang intinya adalah kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal itu sendiri adalah suatu kebijakan yang meliputi kegiatan penerimaan dan pengeluaran Negara yang digunakan oleh pemerintah untuk menjaga stabilitas ekonomi serta mendorong pertumbuhan ekonomi.

Instrument kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang tertuang dalam APBN sebagai suatu rencana operasi keuangan pemerintah yang melingkupi:
  1. Peningkatan penerimaan karena perubahan tarif pajak akan berpengaruh pada ekonomi
  2. Pengeluaran pemerintah akan berpengaruh pada stimulasi pada perekonomian melalui dampaknya terhadap sisi pengeluaran Agregat.
  3. Politik anggaran (surplus, berimbang, atau deficit) sebagai respon atau suatu kondisi
  4. Strategi pembiayaan dan pengelolaan hutang.
Dalam sistem ekonomi Islam, dominasi kebijakan fiskal pemerintah di sektor riil ekonomi begitu jelas terlihat. Hal ini juga tergambar bagaimana instrument fiskal Islam begitu mendominasi pembahasan ekonomi para pakar ekonomi klasik. 

Apalagi pilar utama dan pertama Al-Qur’an dengan perekonomian Islam menyebutkan mekanisme fiskal zakat menjadi syarat dalam perekonomian riil.

Ada beberapa instrumen fiskal yang menjadi alat bagi Negara untuk menjalankan perekonomian menuju kesejahteraan spiritual dan material, baik yang disyaratkan secara syariah maupun yang dilakukan sesuai wewenang Negara, seperti zakat, kharaj, jizyah, dan ushur yang bersifat wajib (Obligatory) dan Infaq, Shadaqah, Hibah, Wakaf yang bersifat sukarela (Volutary) sedangkan Ghonimah merupakan sebuah hasil yang bergantung pada kemenangan dari sebuah peperangan yang dilakukan oleh Negara.  Berikut penjelasannya:

a. Kebijakan penerimaan Negara

1) Kebijakan penerimaan dari warga muslim
  • Zakat, yaitu salah satu dari dasar ketetapan Islam yang menjadi sumber utama pendapatan di dalam suatu pemerintahan Islam pada periode klasik.
  • Ushr, yaitu bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang dimana pembayarannya hanya sekali dalam satu tahun dan hanya berlaku terhadap barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Yang menarik dari kebijakan Rasulullah adalah dengan menghapuskan semua bea impor dengan tujuan agar perdagangan lancar dan arus ekonomi dalam perdangan cepat mengalir sehingga perekonomian di negara yang beliau pimpin menjadi lancar. Beliau mengatakan bahwa barang-barang milik utusan dibebaskan dari bea impor di wilayah muslim, bila sebelumya telah terjadi tukar menukar barang.
  • Wakaf adalah harta benda yang didedikasikan kepada umat Islam yang disebabkan karena Allah SWT dan pendapatannya akan didepositokan di baitul maal.
  • Amwal Fadhla berasal dari harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris, atau berasal dari barang-barang seorang muslim yang meninggalkan negerinya.
  • Nawaib yaitu pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan kepada kaum muslimin yang kaya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat dan ini pernah terjadi pada masa perang tabuk.
  • Khumus adalah harta karun/temuan. Khumus sudah berlaku pada periode sebelum Islam.
  • Kafarat adalah denda atas kesalahan yang dilakukan seorang muslim pada acara keagamaan seperti berburu di musim haji. Kafarat juga biasa terjadi pada orang-orang muslim yang tidak sanggup melaksanakan kewajiban seperti seorang yang sedang hamil dan tidak memungkin jika melaksanakan puasa maka dikenai kafarat sebagai penggantinya.
2) Kebijakan pemasukan dari kaum non muslim, yaitu:
  • Jizyah (tribute capitis/ pajak kekayaan)  adalah pajak yang dibayarkan oleh orang non muslim khususnya ahli kitab sebagai jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah, bebas dari nilai-nilai dan tidak wajib militer.
  • Kharaj (tribute soil/pajak, upeti atas tanah) adalah pajak tanah yang dipungut dari kaum nonmuslim ketika khaibar ditaklukkan. Tanahnya diambil alih oleh orang muslim dan pemilik lamanya menawarkan untuk mengolah tanah tersebut sebagai pengganti sewa tanah dan bersedia memberikan sebagian hasil produksi kepada negara. Prosedur yang sama juga diterapkan di daerah lain. Kharaj ini menjadi sumber pendapatan yang penting.
  • Ushr adalah bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang, dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku terhadap barang yang nilainya lebih dari 200 dirham.[6]
b. Kebijakan pengeluaran Negara

Keuangan public diarahkan untuk mewujudkan tujuan Negara muslim. Inilah tugas pemerintah dalam Negara muslim untuk menggunakan keuangan tersebut dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat dan meningkatkan ketakwaan masyarakat. Jadi sebahagian besar anggaran pemerintah akan digunakan pada aktivitas-aktivitas yang dimaksudkan untuk meningkatkan Islam dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat muslim.

Sehubungan dengan tujuan Negara ini, Ibnu Taimiyah sangat serius, bahwa ia benar-benar menghargai kegiatan ekonomi dan agama dalam kerangka tanggungjawab yang tidak terpisahkan. Hal ini bukan keistimewaan dari pandangan nya, namun memang merupakan karakteristik ajaran Islam. 

Oleh karena itu Ibnu Taimiyah menyarankan atau Negara atau pemerintah Islam harus dapat merealisasikan program: menghilangkan kemiskinan, regulasi pasar, kebijakan moneter, dan perencanaan ekonomi. Aktivitas ini dilakukan, sehingga siklus ekonomi dapat berjalan dengan baik, dan kesejahteraan masyarakat tercapai. Karena kemiskinan akan dapat menjurus dan dapat menyebabkan kekafiran.

Kebijakan Pengeluaran pendapatan negara didistribusikan langsung kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Yaitu zakat didistibusikan kepada di antara golongan yang berhak menerima pendapatan (distribusi pendapatan) adalah berdasarkan atas kreteria langsung dari Allah S.W.T yang tergambar di dalam al-Qur’an QS. At-Taubah Ayat 90. Distribusi Ghanimah diarahkan pada penjelasan dalam surat 8:41, sedangkan penerimaan dari sumber Fa’I didistribusikan untuk kepentingan berupa; memelihara kehidupan sosial masyarakat, menghadapi serangan kekerasan baik dari dalam maupun luar negeri, dan mengembangkan kualitas kehidupan sosial.

c. Hutang

Hutang Negara berasal dari hutang dalam negeri maupun luar negeri. Kenyataannya bahwa didalam Islam semua pinjaman harus dilakukan dengan pendekatan bebas bunga. Pinjaman dapat diperoleh dengan cara langsung dari public atau secara tidak langsung dalam bentuk pinjaman yang diperoleh dari Bank sentral. Merupakan suatu bentuk pinjaman yang dilakukan karena menggambarkan buruknya situasi harga pada umumnya. Dengan demikian, pinjaman ini dilakukan untuk menstabilkan harga.

Pinjaman dari Negara lain yang menggunakan sistem bebas bunga ada umumnya sulit untuk didapatkan. Oleh karenanya, suatu Negara tertentu mungkin akan mendapatkan pinjaman dari Negara lain yang sepaham. Akan tetapi, didalam Islam hal tersebut merupakan tugas bagi Negara-negara kaya untuk membantu kepada Negara-negara muslim yang miskin.

3. Kedudukan Instrumen Fiskal dalam perekonomian.

Islam telah menentukan sector-sektor penerimaan pemerintah yang dapat diklasifikasikan menjadi pendapatan yang sifatnya rutin dan temporer. Pendapatan yang sifatnya rutin adalah melalui zakat, ghanimah, fa’I, jizyah, kharaj, shadaqah, dll. Sedangkan yang sifatnya temporer yaitu ghanimah, Fa’I dan harta yang tidak ada pewarisnya. Secara umum ada kaidah-kaidah syari’ah yang membatasi kebijakan tersebut.

Dalam ekonomi konvensional tidak memiliki sumber penerimaan dari pemilikan umum karena sistem ini hanya mengakui dua macam kepemilikan yaitu kepemilikan individu dan kepemilikan Negara. Sistem ini juga menempatkan kebebasan individu dalam hal kepemilikan selama diperoleh dengan cara-cara yang sah menurut hukum konvensional.

Sedangkan pengakuan Islam adanya kepemilikan umum selain kepemilikan individu dan Negara yang didasarkan pada dalil syara’. Sumber penerimaan Baitul Mal dari bagian kepemilikan umum mempunyai potensi sangat besar dalam membiayai pengeluaran baitul Mal yaitu dari barang tambang dan sumber daya alam. Anugrah ini merupakan suatu potensi yang sangat besar untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kekuatan Negara.

Distribusi ekonomi dari sisi instrument pengeluaran Negara agar menjadi efisien dan efektivitas maka harus dipandu oleh landasan-landasan Syari’ah dan penentuan skala prioritas. Dengan mengatur tujuan pembelanjaan Negara dalam pemerintahan Islam yaitu:
  1. Pengeluaran demi memenuhi kebutuhan hajat masyarakat
  2. Pengeluaran sebagai alat redistribusi kekayaan
  3. Pengeluaran yang berkaitan dengan investasi dan produksi
  4. Pengeluaran bertujuan menekan tingkat inflasi dengan kebijakan intervensi pasar.
Setiap pos pemasuskan didalam Baitul Mal mempunyai mekanisme masing-masing untuk dikeluarkan atau dibelanjakan oleh negara sehingga akan mempunyai variasi dampak positif terhadap perekonomian Negara dan masyarakat.

Didalam sistem ekonomi konvensional tidak mengenal mekanisme pemasukan dan pengeluaran keuangan dan harta Negara seperti yang ada pada Baitul Mal. Setiap sumber pemasukan APBN (budget of state) tidak ada pengaturan harus dikeluarkan untuk anggaran apa saja, sebaliknya setiap sumber pemasukan penggunaannya terserah kepada pemeirintah dalam membiayai belanja Negara dari besaran anggran yang sudah disetujui parlemen (DPR). Dilihat dari sisi ini saja sudah muncul kerancuan penggunaan keuangan Negara dalam hal alokasi anggaran.

Aspek politik dari kebijakan fiskal yang dilakukan oleh khalifah dalam rangka mengurusi dan melayani umat, kemudian dilihat dari bagaimana Islam memecahkan problematika ekonomi, maka berdasarkan kajian fakta permasalahan ekonomi secara mendalam terungkap bahwa hakikat permasalahan ekonomi terletak pada bagaimana distribusi harta dan jasa ditengah-tengah masyarakat sehingga titik berat pemecahan permasalahan ekonomi adalah bagaimana menciptakan suatu mekanisme distribusi ekonomi yang adil.

Karena itu kebijakan fiskal didalam Islam didasari oleh suatu politik ekonomi, yang bertujuan mencapai distribusi ekonomi yang adil, sebagaimana yang dikemukakan Abdurrahman Al-Maliki, yaitu menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer perindividu secara menyeluruh, dan membantu tiap-tiap individu diantara mereka dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kadar kemampuannya.

Dengan satu langkah kebijakan fiskal dalam penjaminan kebutuhan primer diatas, maka Negara telah membangun suatu infrastruktur ekonomi dan dengan itu terbentuklah suatu karakteristik struktur perekonomian sehingga Negara telah membuka satu pintu distribusi ekonomi yang adil. Karena orang-orang yang kurang memiliki kemampuan dari sisi ekonomi disantuni oleh Negara dengan penjaminan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokoknya. 

Juga setiap orang mendapatkan hak yang sama dalam keamanan akan hartanya, akan usahanya (pertanian, industry, perdagangan dan jasa, dll), jiwa dan keluarganya. Hak yang sama akan pendidikan sehingga semua orang pada hakikatnya memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh ilmu dan keahlian. Dengan ilmu dan keahlian inilah modal dasar bagi seseorang mencari nafkah bagi diri dan keluarganya serta untuk meningkatkan kekayaannya.

Zakat kini mendominasi seluruh diskusi pakar ekonomi, dan seolah-olah keadilan distributif hanya berkaitan dengan distribusi pembayaran dan seolah-olah zakat hanyalah satu-satunya instrumen yang tersedia. Tetapi ini tidak berarti bahwa aspek-aspek lain dari keadilan distributif dan fungsi lain dari zakat benar-benar diabaikan.

Memang, Khurshid Ahmad sangat tertarik memperhatikan penekanan Islam pada kesetaraan dan keadilan dalam semua aspek hubungan manusia, beliau mengatakan bahwa gagasan "upah yang adil" dan konsep " harga" juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keadilan sosial seperti yang dibayangkan oleh Islam. 

Beberapa ulama, termasuk Kahfi, berupaya untuk menetapkan peran counter-cyclical untuk zakat, di samping fungsi distributif secara tradisional. Prinsip-prinsip zakat diberikan perhatian yang sangat baik di bagian "teoritis" pada tulisan Abidin Ahmad Salama ini.

Beberapa perbedaan pendapat tampaknya berhubungan dengan dasar pengeluaran zakat . Kahfi berpikir bahwa dasar pengeluaran harta zakat seharusnya memasukkan kawasan industri dan riil. sesuai dengan pertanyaan yang dilontarkan Siddiqi, dari  sudut pandang syariat, termasuk pendirian industri, seperti mesin, bangunan, dll. Mahfooz Ahmad memandang zakat sebagai bentuk kekayaan pajak dan karena itu ia berpendapat bahwa tidak diperbolehkan untuk memasukkan pendapatan yaitu pajak dalam zakat . 

Tapi Salama berpegang pada pandangan bahwa semua pendapatan lebih dari minimum tertentu harus diizinkan untuk diambil zakatnya.  Hal ini juga menarik untuk dicatat dalam konteks ini bahwa beberapa ekonom Islam, termasuk AI-Raddady dan Salama, mendukung pelebaran dasar Zakat  sehingga dapat  membuat Zakat sebagai instrumen fiskal yang kuat.

Zarqa memicu 'kontroversi dengan menyatakan bahwa zakat harus dibayar pada aset zakatable terlepas dari apakah itu dimiliki oleh individu atau oleh pemerintah.  penalaran Nya adalah bahwa zakat diperuntukkan untuk tujuan tertentu sebagaimana dijabarkan dalam Al-Qur'an, sedangkan pendapatan Pemerintah tidak. Kahfi sangat tidak setuju dengan Zarqa tentang hal ini dan mengatakan bahwa, menurut Fiqh, eksploitasi komersial sumber daya mineral dapat dilakukan hanya oleh negara, bukan oleh individu. 

Dia bahkan berpikir jauh untuk menyarankan bahwa pendapatan dari tambang milik negara tersebut mirip dengan zakat, terlepas dari apakah ini digunakan untuk menguntungkan orang miskin atau masyarakat secara  keseluruhan. kesimpulan Siddiqi tentang masalah ini mirip dengan Kahrs. Siddiqi berpikir bahwa pemerintah dapat dibebaskan dari harus membayar zakat pada aset milik negara, karena itu seharusnya untuk mengambil hak setiap individu, kaya atau miskin, dan transfer pendapatan dari orang kaya kepada orang miskin bukanlah hanya alasan untuk zakat.

Pertanyaan tersebut memaksakan pajak selain zakat dalam ekonomi Islam dinaikkan oleh Salama dalam makalahnya. Kebutuhan pajak tambahan seperti diakui dan dihargai oleh semua kalangan, mengingat fakta bahwa dana zakat tidak dapat digunakan untuk tujuan selain yang dijelaskan dan ditentukan dalam Al-Qur'an dan bahwa negara modern membutuhkan dana untuk memenuhi kebutuhan dan pengembangan pengeluaran yang sangat besar. Tapi kemudian, Salama mencoba untuk membenarkan pajak ini dengan alasan bahwa selalu ada "kewajiban pada kekayaan diluar Zakat ". 



Zarqa menemukan bahwa ia sulit untuk menerima, karena menyiratkan bahwa hanya orang kaya yang bisa diminta untuk membayar pajak ini (selain zakat) dan bukan hanya siapa pun. Selain itu, Zarqa menunjukkan Zakat dirancang untuk membantu orang miskin dan pembiayaan pelayanan pemerintah harus didasarkan pada prinsip-prinsip Islam. Siddiqi berpendapat bahwa negara berhak untuk memberlakukan pajak tambahan yang mungkin dihabiskan pada pembangunan jalan, tanpa dialokasikan kepada orang miskin. 

Setelah dilakukan pemeriksaan, menjadi cukup jelas bahwa benar-benar ada konflik views antara Zarqa dan Siddiqi berkenaan dengan alasan untuk pajak tambahan. 

Kebingungan dapat dihindari, jika salah satunya membuat jelas apa yang dimaksud dengan pajak tambahan. Jika pajak tambahan yang diartikan non zakat pajak, maka mereka tidak perlu sesuai dengan aturan zakat yang dianggap baik sebagai sumber untuk digunakan sebagai pendapatan.
Sangat menarik untuk melihat beberapa ide cerdik yang disarankan dalam upaya untuk menghidupkan Zakat menjadi instrumen fiskal yang kuat dalam ekonomi Islam. Kahfi, misalnya, Zakat sebagai alat fiskal yang berfungsi tidak hanya tujuan redistribusi kekayaan dan pendapatan tetapi juga tujuan pembangunan dan stabilisasi.

Akram Khan berbicara tentang zakat yang manjadi anggaran yang mungkin mengalami surplus dalam masa inflasi. Beliau mengamati bahwa distribusi zakat secara tunai menyebabkan inflasi, Osman Rani menyarankan distribusi Zakat sebaiknya dalam bentuk barang seperti pupuk dan mesin, atau dalam bentuk layanan seperti fasilitas medis dan pendidikan gratis bagi orang miskin. 

Kahfi mendukung bentuk pengumpulan dan distribusi zakat dalam bentuk barang konsumen, di masa resesi dan pengangguran akan teratasi, sehingga "memaksa mustahik untuk menghemat ". dan Kahfi juga berpendapat “bukan mengumpulkan dan mendistribusikan zakat dalam bentuk uang - sehingga dapat meminimalkan pengaruh zakat pada permintaan agregat dalam masa inflasi”.
 
Menurut Akram Khan, negara memiliki kekuasaan diskresi untuk memvariasikan Pangsa Zakat yang diperoleh untuk kelompok tertentu dari penerima manfaat yang sah. kebijaksanaan ini dapat digunakan sedemikian rupa untuk menjaga permintaan agregat dalam ekonomi pada tingkat yang cukup rendah dengan mengalokasikan saham lebih rendah dari hasil Zakat untuk orang-orang dengan MPC tinggi.

Kahfi melihat manfaat dalam mendistribusikan zakat adalah untuk meningkatkan pembentukan modal dalam perekonomian, dengan akses pada pekerjaan yang lebih besar dan pendapatan yang lebih baik bagi masyarakat miskin bukan pada kepuasan. Akram Khan dalam  “sertifikat Zakat " yang sebenarnya ditujukan untuk investasi dana zakat  pada industri yang akan memberikan kerja bagi masyarakat miskin.

Hal ini menarik untuk dicatat bahwa Shafey berbicara tentang modernisasi lembaga Islam Wakaf dan memperluas kegiatannya sehingga dapat memerangi masalah kemiskinan di akarnya. Dia berpikir bahwa yayasan Muslim non-pemerintah dapat memainkan peran penting dalam menghilangkan buta huruf, gizi buruk, penyakit dan penyebab lain dari kemiskinan dan ia percaya bahwa ada cukup individu kaya dan keluarga dalam umat untuk membangun seperti yayasan swasta.

Akhirnya, kita dapat menyimpulkan bahwa perlunya tindakan yang dirancang untuk mengurangi kesenjangan pendapatan antara negara-negara Muslim. Yang merupakan obat mujarab yang disarankan oleh Mahfooz Ahmad adalah transfer pendapatan internasional besar-besaran dari orang kaya kepada orang miskin pada negara-negara Muslim. Tapi, Khurshid Ahmad berpandangan bahwa bantuan mungkin tidak menjadi kendaraan terbaik untuk menjembatani kesenjangan antara negara kaya dan miskin dari Dunia Muslim. Dia menempatkan kerjasama ekonomi maju lebih efektif dan perdagangan bebas mengalir di antara negara Muslim sebagai solusi alternatif.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat kita simpulkan bahwa:
  1. Konsep kebijakan fiskal Islam adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dengan mengatur kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengarahkan ekonomi Negara melalui pengeluaran, pendapatan dan hutang demi terwujudnya keadilan distributif dengan tujuan menciptakan tingkat kesempatan kerja, menekan laju inflasi dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.
  2. instrumen kebijakan fiskal dalam Islam yaitu instrument pendapatan seperti; zakat, kharaj, jizyah, dan ushur yang bersifat wajib (Obligatory) dan Infaq, Shadaqah, Hibah, Wakaf yang bersifat sukarela (Volutary) sedangkan Ghonimah merupakan sebuah hasil yang bergantung pada kemenangan dari sebuah peperangan yang dilakukan oleh Negara, dan instrument pengeluaran seperti; program menghilangkan kemiskinan, regulasi pasar, kebijakan moneter, dan perencanaan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat, serta instrument hutang pada Negara luar.
  3. Kedudukan instrument kebijakan fiskal dalam perekonomian adalah sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi dalam menghasilkan peningkatan terhadap barang dan jasa demi terwujudnya stabilitas ekonomi yang berimplikasi terhadap kesejahteraan masyarakat.

Daftar Pustaka
  • Zarqa Anas, 1976" Fungsi Kesejahteraan Sosial dan Perilaku Konsumen," Makalah disampaikan pada Konferensi Dunia Pertama tentang Ekonomi Islam, Mekkah.
  • Adiwarman A. Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P, Ekonomi Makro Islami, edisi kedua, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010)
  • http://cafe-ekonomi.blogspot.com/2009/05/makalah-kebijakan-fiskal.html
  • http://cafe-ekonomi.blogspot.com/2009/05/makalah-kebijakan-fiskal.html
  • M. Nur Rianto Al Arif, S.E., M.Si. Teori Makroekonomi Islam, Konsep, Teori, dan Analisis, (Bandung: Alfabeta, 2010).
  • Naf’an, Ekonomi Makro:Tinjauan Ekonomi Syari’ah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014)
  • Perwata Atmajda, Karnaen A. Sejarah Pemikiran Eonomi Islam. Diktat Kuliah. (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006)
  • Pratama Rahardja dan Mandala Manurung, Teori Ekonomi Makro dan Suatu Pengantar, edisi 3, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2005)
  • Rahayu, Ani Sri. Pengantar Kebijakan Fiskal. (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010)
  • Ruby, Yanti. 2013. Makalah Kebijakan Fiskal. (Online). (http://yantiruby. blogspot.com/2013/05/kebijakan-fiskal.html. Diakses 03 November 2014).
  • Sirojuddin, Ahmad. 2013. Kebijakan Fiskal Islam dan Kebijakan Fiskal Era Moderen. (Online). (http://juraganmakalah.blogspot.com/2013/01/ kebijakan-fiskal-islam-dan-kebijakan.html. Diakses 03 November 2014).