Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Evolusi Kontrak dalam Fiqh Muamalah dan Kaitannya dengan Tantangan Modernitas serta Hubungannya dengan Perbankan Syariah

Tidak hanya fashion yang terus berkembang dan berubah, kontrak pun ikut mengambil bagian dalam perubahan zaman. Globalisasi yang cenderung mendorong manusia untuk berpikir kreatif dalam mengambil novasi berimplikasi pada terus berkembangnya akad-akad dalam transaksi manusia.Akad-akad yang dimaksud adalah dalam sektor perbankan. 

Sudah banyak inovasi produk perbankan islam yang mulai dimodifikasi dari fikih muamalah klasik. “Makin tinggi pohon tumbuh makin kencang angin menerpa” peribahasa ini cocok untuk perkembangan akad yang juga diiringi oleh berbagai tantangan yang menghampiri. Mulai dari perbedaan pendapat diantara kalangan ulama hingga dari miskinnya sumber daya manusia yang mumpuni. 

Modernitas mendesak manusia untuk terus menyesuaikan diri terhadap perkembangan zaman. Namun, bagaimanakah Islam menyambut tantangan modernitas ini? Islam adalah agama yang sempurna dan sangat sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh karenanya, setiap perkembangan apapun khususnya dalam bidang muamalah haruslah sesuai dengan rambu-rambu syariah.

Antara Akad dan Kontrak

Secara bahasa, akad berarti janji, perjanjian, kontrak. Dan berakad berarti mengikat perjanjian (kontrak). Kemudian, di dalam peraturan Bank Indoonesia tertulis bahw akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank dengan nasabah dan/atau pihak lain yang memuat hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah.

Akad sering sekali diartikan kontrak. Padahal sejatinya akad berbeda dengan kontrak. Suatu kontrak atau perjanjian adalah suatu “peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal” dan Pengaturan tentang kontrak ini diatur di dalam buku III KUH Perdata. 

Lebih lanjut, kata al-‘aqdu (akad) dijelaskan oleh Allah dalam surah al-Maidah ayat 1 yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu, dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki- Nya.”

Dalam perspektif al-Qur’an, ‘Aqad (perjanjian) itu mencakup janji prasetia seorang hamba kepada Allah s.w.t. dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. Dan disinilah letak perbedaan mendalam antara akad dan kontrak. Kontrak hanya terdiri atas orang-orang yang melakukan perjanjian sedangkan dalam akad harus terdiri atas saksi. Dan saksi yang dimaksud bukan hanya antar manusia saja.

Namun, Allah juga menjadi saksi diantara mereka. Akad juga harus dibawah asas-asas fikih muamalah (Al-Qur’an dan Al-Hadist) dan tidak boleh menyeleweng darinya. Sedangkan kontrak segala ketentuannya ditentukan dalam undang-undang (pemerintah).

Berikut adalah asas-asas fikih muamalah yang menjadi dasar dalam pembuatan akad,:
1). Asas Al-Huriyah (kebebasan)
Dengan memperlakukan asas kebebasan dalam kegiatan perekonomian termasuk pengaturan dalam hukum perjanjian. Para pihak yang melaksanakan akaddidasarkan pada kebebasan dalam membuat perjanjian baik objek perjanjian maupun persyaratan lainnya.

2). Asas Al-Musawah (persamaan dan kesetaraan)
Perlakuan asas ini adalah memberikan landasan bagi kedua belah pihak yang melakukan perjanjian mempunyai kedudukan yang sama antara satu dengan lainnya.

3). Asas Al-Adalah (keadilan)
Pelaksaan asas keadilan dalam akad manakala para pihak yang melakukan akad dituntut untuk berlaku benar dalam mengungkapkan kepentingan-kepentingan sesuai dengan keadaan dalam memenuhi semua kewajiban.

4). Asas Al-Ridho (kerelaan)
Pemberlakuan asas ini menyatakan bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar kerelaan antara masing-masing pihak.

5). Asas Ash-Shidiq (kejujuran)
Kejujuran merupakan nilai etika yang mendasar dalam islam. Islam adalah nama lain dari kebenaran. Nilai kebenaran memberi pengaruh terhadap pihak yang melakukan perjanjian yang telah dibuat.

Syarat dan Rukun Akad
Rukun, yang mencakup: penjual, pembeli, barang, harga dan ijab-qabul. Syarat, yang meliputi:
  1. Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi adanya hukum Islam.
  2. Harga barang dan jasa harus jelas.
  3. Tempat penyerahan (delivery) harus jelas karena akan berdampak pada biaya transportasi
  4. Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan. Tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai, seperti yang terjadi pada transaksi short sale dalam pasar modal
Berakhirnya Akad

Para ulama menyatakan suatu akad dapat berakhir apabila;
a. Berakhirnya masa berlaku akad tersebut, apabila akad tersebut memiliki
tenggang waktu.

b. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak
mengikat.

c. Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu akad dianggap berakhir jika :
  1. jual beli itu fasad, seperti terdapat unsur-unsur tipuan, salah satu rukun atau syarat tidak terpenuhi.
  2. Berlakunya Khiyar.
  3. Akad itu tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak.
  4. Tercapainya tujuan akad itu secara sempurna.

Sekilas Tentang Evolusi Kontrak dan Kaitannya dengan Tantangan Modernitas serta Hubungannya dengan Perbankan Syariah

Akad-akad bentukan baru pada umumnya merupakan hasil sintesa akad-akad yang sudah ada sebelumnya yang kemudian diramu sedemikian rupa hingga menjadi akad yang terpadu. Akad-akad semacam ini belakangan dikenal dengan istilah hybrid contract atau multiakad (al-‘uqūd al-murakkabah). Banyak yang masih meragukan akad-akad yang “agak” berbeda dari akad klasik yang biasa ditemukan.

Oleh karenanya, disinilah diperlukan pemahaman yang mendalam baik itu dalam ilmu agama maupun ilmu mengenai gejolak aktivitas muamalah, dengan begitu, akan mudah bagi kita melihat benar tidaknya akad yang  berkembang itu.

Rumusan fiqh muamalah yang “lengkap”, berlimpah dan mendatail yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh klasik, sebagian besarnya merupakan hasil ijtihad para ulama terdahalu dalam memecahkan dan menjawab tantangan dan problematika  ekonomi di zamannya. Tentunya formulasi fiqh mereka banyak dipengaruhi atau setidaknya diwarnai oleh situasi dan kondisi sosial ekonomi yang ada pada zamannya. Karena itu terdapat kaedah populer. “Hukum (muamalat)  dapat berubah karena perubahan  zaman, tempat, keadaan, adat dan niat”. 

Keislaman’ sebuah bank tidak semata-mata karena bank tersebut tidak lagi memungut bunga ataupun penghasilan lainnya yang tidak halal, akan tetapi kesesuaian akad-akad yang diterapkan di dalamnya dengan ketentuan-ketentuan syariah juga merupakan faktor yang harus diperhitungkan

Beginilah mindset yang tertanam dalam mayoritas umat manusia. Seakan-akan yang haram itu hanya “bunga bank” saja. Padahal, banyak sekali hal-hal yang perlu diperhatikan khususnya dalam pengaplikasian akad dalam sektor perbankan yang kebanyakan para praktisinya tidak menjalankan sesuai fatwa MUI dan DSN. Secara teori, sebenarnya, prinsip bank sudah bersumber dari fatwa yang dikeluarkan oleh DSN. 

Tentulah prinsip tersebut sudah melalui berbagai proses sehingga layak digunakan dalam perbankan dan juga sesuai syariah. Dapat dilihat dalam Penjelasan Peraturan Bank Indonesia Pasal 2 Ayat (1) yang berbunyi, “Prinsip Syariah yang wajib dipenuhi oleh Bank bersumber pada Fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional. Lalu, tetap saja kita masih ragu untuk memilih bank syariah sebagai satu-satunya bank yang kita pilih. Sungguh salah.

Pertumbuhan perbankan syariah yang mencapai 30% per tahun menjadi fenomena tertentu. Namun, di lain pihak signifikansinya dilihat belum optimal karena market sharenya masih di bawah 5 % (BI, Februari 2013), Produknya masih monoton dan bahkan terkesan kaku, tidak dinamis. Berdasarkan kajian dari praktisi perbankan syariah dari Kuwaity Investment Company, Baljeet Kaur Grewal, (2007). Indonesia menduduki kluster ketiga dalam inovasi produk bank syariah dan pengembangan pasar.

Melihat hal ini, pemerintah semakin giat untuk  mengembangkan kebijakan inovasi produk perbankan. Mulai dari semakin gencarnya pemerintah (OJK) turun ke masyarakat untuk melakukan roadshow dan seminar pengenalan perbankan syariah kepada para mahasiswa, hal ini memang sangat dibutuhkan, karena bagaimanapun Indonesia harus memiliki sumber daya manusia yang paham rule sebenarnya dari akad yang syariah.
            
Ibarat kata “jangan malu bertanya” adalah kalimat yang bisa kita ajukan pada diri negara kita ini. Bertanya kepada yang sudah berpengalaman adalah salah satu  cara kita membangun negeri ini. Seperti kasus di Malaysia, Head Product Management Maybank Islamic, Nor Shahrizan Sulaiman, memaparkan perkembangan produk bank syariah di Malaysia dilakukan secara bertahap sejak negara itu mulai menumbuh-kembangkan industri keuangan nonribawi. 

Ada beberapa tahap yang dilakukan oleh negara malaysia yang mungkin bisa menjadi salah satu opsi negara kita dalam melakukan perbaikan khususnya dalam sektor perbankan, seperti:
  1. Tahap pertama industri keuangan syariah Malaysia dimulai pada 1983 hingga 1992 dengan menggarap niche market.
  2. Di tahap kedua industri bank syariah Malaysia mulai menjangkau ke pasar yang lebih luas dengan menyediakan produk lebih beragam kepada nasabah.
  3. Tahap ketiga industri keuangan syariah Malaysia yang berlangsung mulai 2002 hingga kini pun mulai masuk ke karakteristik pasar global.
Dan juga lebih lanjut, Shahrizan menuturkan “Fokus produk juga tidak hanya antarbank dan kepada nasabah, tapi juga antara bank dengan pemerintah,”. Jika kita flashback ke masa lalu, sejarah pergerakan ekonomi Islam di Indonesia secara formal sebenarnya telah berlangsung sejak tahun 1911, yaitu sejak berdirinya organisasi Syarikat Dagang Islam yang dibidani oleh para entrepreneur dan para tokoh Muslim saat itu.  Dan bila kita kembali sebelum tahun 1911, terdapat peran para santri  (umat Islam)  dalam dunia perdagangan yang cukup besar. 

Banyak penelitian para ahli sejarah dan antropologi yang membuktilan fakta tersebut. Ini bisa menjadi motivasi kita bahwa umat Islam adalah penggerak dan juga bisa dikatakan pengembang berkembangnya perdagangan di Indonesia. Umat islam berperan aktif dan menjadi pemacu timbulnya transaksi. Dan kini, mengapa kita kalah jauh dari kalangan minoritas non-muslim di Negara kita? Kita perlu memakmurkan kembali ilmu ekonomi islam pada setiap umat muslim terutama kepada generasi yang sedang menempuh pendidikan.

Dalam segi perkembangan akad sendiri terdapat 2 cara dalam mentransformasi akad dari akad klasik menjadi akad yang terbarukan. Dalam jurnal Al-Tahrir, Vol. 12, No. 1 Mei 2012 disebutkan bahwa “ada dua bentuk transformasi akad dalam hal ini, pertama, transformasi dengan cara memodifikasi akad muamalah klasik secara terbatas yang contohnya dapat dilihat pada aplikasi akad mudarabah, musyarakah, dan murabahah di perbankan syariahdan yang kedua transformasi dengan penciptaan akad baru yang diderivasi dari akad klasik, contohnya akad musyarakah mutanaqisah dan al-ijaah al-muntahiyah bi al-tamlik”.

Kesimpulan

Ketika akad sudah sesuai dengan jalannya syariah dan sudah sesuai dengan asas-asas fikih muamalah, maka yang menjadi fokusan selanjutnya adalah pada praktisi yang menjalankannya. Jangankan untuk berkreasi membuat produk perbankan yang baru, memahami yang sudah ada saja masih sulit. Indonesia benar-benar darurat sumber daya manusia yang paham betul alur ekonomi syariah. Tidak sepenuhnya salah pemerintah karena bagaimanapun juga kita masih dalam tahap memulai. Namun, tantangan ini harus segera mendapat solusi agar kita tidak stagnan dan ketinggalan oleh laju globalisasi.

Dalam sumber lain, saya melihat ada beberapa saran yang bagus dari tulisan Bapak Agustianto, Beliau adalah  Anggota DSN-MUI dan Ketua I Ikatan Ahli Ekonomi Islam. Dalam tulisannya, ia memaparkan bahwa “Seharusnya, mata kuliah fiqh muamalah di pascasarjana di bagi kepada 3 bagian, pertama matrikulasi, intermediate dan fiqh muamalah kontemporer untuk tingkat advance. Jadi, jangan berharap banyak dari lulusan pascasarjana Ekonomi Islam untuk melakukan inovasi produk, jika yang diajarkan masih fiqh muamalah klasik dan tingkat dasar.

Fikih muamalah klasik adalah ilmu dasar yang wajib diketahui dan menjadi dasar pola pikir mahasiswa kedepannya. Namun yang perlu digaris bawahi adalah kuliah inovasi produk harus digalakkan sedini mungkin. Saya rasa keinginan dari Bapak Agustianto sudah terjawab dikarenakan saya yang masih semester V (lima) ini sedang menempuh matakuliah inovasi produk perbankan islam. Semoga ini menjadi awal dan juga menjadi batu loncatan kami mahasiswa untuk lebih mendalami dan kreatif dalam berpikir ke depan.

Tantangan lainnya dalam perkembangan akad ini tidak hanya pada praktisi yang kurang memahami akad itu sendiri, namun juga pada sosialisasi akad tersebut kepada masyarakat awam. Anda bisa buktikan, ada berapa persen dari populasi penduduk di Indonesia yang paham apa itu hybrid contract (murakkabah) atau akad ijarah bit tamlik, saya sangat yakin bahwa hanya sedikit yang mengetahui pengertian dari akad-akad tersebut.

Karena saya sendiri baru-baru ini saja mengetahui isu mengenai akad murakkabah ini, lantas, bagaimana dengan masyarakat lain yang tidak mengambil kosentrasi ilmu ekonomi islam? Kurangnya sosialisasi mengenai akad yang terbaru adalah tantangan terbesar yang dihadapi dalam pengembangan kontrak ini. Hanya kaum minoritas saja yang tahu, jika kejadian seperti ini terus berlangsung maka sudah sepantasnya market share produk perbankan syariah kalah saing dan tetap stagnan.

Sosialisasi bisa dimulai dari kerjasama antara pihak lembaga perbankan dengan pemerintah yang memulai sosialisasi di berbagai instansi negara dan swasta. Pengenalan produk terbaru harus diprioritaskan kepada masyarakat yang juga memakai jasa perbankan. Kemudian barulah mulai disosialisasikan kepada para pelajar seperti mahasiswa. 

Evolusi Kontrak


Pemerintah dan pihak perbankan harus pandai mengolah dan memperluas market share baik dengan melakukan roadshow dan juga training bagi setiap nasabah (pegawai yang mempunyai tabungan bank syariah) atau seminar bagi mahasiswa karena seperti kata pepatah “tak kenal maka tak sayang” oleh karenanya diperlukan pengenalan terhadap akad yang telah dikembangkan kepada masyarakat agar mereka tertarik menggunakannya.